Senin, 10 Mei 2010

makalah ayat ayat kesehatan3

BAB I
PENDAHULUAN

Dalam Al-Qur’an, diatur berbagai aspek kehidupan manusia. Termasuk di dalamnya dalam hal berkeluarga. Dimana dalam keluarga itu terjalin silaturrahim antara dua keluarga yang terikat melalui hubungan pernikahan. Namun, hubungan itu dapat terputus karena adanya perceraian atau yang lebih dikenal dengan istilah thalaq.
Dalam keluarga, hal yang paling penting diantaranya adalah mengenai pemeliharaan anak. Dimana anak merupakan hasil hubungan suami istri yang harus diperlihara sebaik-baiknya karena akan melanjutkan atau sebagai generasi penerus keluarga.
Olehnya itu, jika sampai terjadi perceraian pemeliharaan anak tetap harus diutamakan oleh pasangan suami istri yang telah bercerai tersebut. Sang ayah harus tetap memberikan nafkah kepada anak mereka, begitu juga dengan sang ibu yang memberikan kasih sayang.
Karena pentingnya pemeliharaan anak ini maka meskipun terjadi perceraian antara suami istri, mereka harus tetap memikirkan mengenai anak mereka, atau hak asuhnya. Seperti yang terdapat dalam surat At-thalaq ayat 6. Meskipun hak asuh sering diberikan kepada ibu, ayah tetap memiliki peranan memberikan nafkah kepada anak karena itu merupakan hasil dari hubungan pernikan mereka. Untuk lebih lengkapnya mengenai pemeliharaan anak setelah thalaq atau perceraian akan dibahas lebih lanjut dalam makalah ini.


BAB II
PEMBAHASAN

Ayat tentang Pemeliharaan Anak
Surat Ath-Thalaq ayat 6
ﺃﺴﻜﻨﻮﻫﻦ ﻤﻦﺤﻴﺙ ﺴﻜﻨﺘﻢ ﻤﻦ ﻮﺠﺪﻜﻢ ﻮﻻﺘﻀﺎﺮﻮ ﻫﻦ ﻠﺘﻀﻴﻗﻮﺍ ﻋﻠﻬﻦ ﺤﺘﻰ ﻴﻀﻌﻦ ﺤﻤﻠﻬﻦ ﻔﺈﻦ ﺃﺮﻀﻌﻦ ﻠﻜﻢ ﻔﺄﺗﻮ ﻫﻦ ﺃﺠﻮﺮ ﻫﻦ ﻮﺃﺗﻤﺮﻮ ﺍﺒﻴﻧﻜﻢ ﺒﻤﻌﺮﻮﻒ ﻮﺇﻦﺗﻌﺎ ﺴﺮﺗﻢ ﻔﺴﺗﺮ ﻀﻊ ﻠﻪ ﺃﺧﺮﻯ۝
“Tempatkanlah mereka di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuan kamu; dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan mereka. Dan jika mereka sedang hamil , maka berikanlah mereka nafkah mereka hingga mereka bersalin; jika mereka menyusukan untuk kamu maka berikanlah kepada mereka imbalan mereka; dan musyawarahkanlah diantara kamu dengan baik; dan jika kamu saling menemui kesulitan, maka perempuan lain akan menyusukan untuknya.”
Kata kunci:

Pada ayat pertama surat ini telah disebutkan larangan mengeluarkan wanita yang dicerai dan masih sedang menjalankan iddahnya mengusir mereka dari rumah bekas suaminya kecuali jika mereka melakukan fahisyah. Kediaman itu boleh jadi bukan milik suami, boleh jadi dipinjam atau disewa, atau rumah yang tidak layak dihuni oleh suami. Ayat di atas mempertegas hak wanita-wanita itu memperoleh tempat tinggal yang layak. Ini perlu dalam rangka menunjukkan ma’ruf yang dperintahkan ayat 5 sebelum ini sekaligus memelihara hubungan agar tidak semakin keruh dengan perceraian itu. Ayat diatas menyatakan: tempatkanlah mereka pada istri yang dicerai itu di mana kamu wahai yang menceraikannya bertempat tinggal. Kalau dahulu kamu mampu tinggal ditempat yang mewah dan sekarang penghasilan kamu menurun atau sebaliknya maka tempatkanlah mereka di tempat menurut yakni yang sesuai dengan kemampuan kamu sekarang dan janganlah sekali-kali kamu sangat menyusahkan mereka dalam hal tempat tinggal atau selainnya dengan tujuan untuk menyempitkan hati dan keadaan mereka sehingga mereka terpaksa keluar atau minta keluar. Dan jika mereka istri-istri yang sudah dicerai itu sedang hamil, baik perceraian yang masih memungkinkan masih rujuk maupun yang ba’in (perceraian abadi) maka berikanlah nafkah mereka sepanjang masa kehamilan itu hingga mereka bersalin; jika mereka menyusukan untuk kamu yakni menyusukan anak kamu yang dilahirkannya itu dan yang membawa nama kamu sebagai bapaknya, maka berikanlah kepada mereka imbalan mereka dalam melaksanakan tugas menyusukan itu; dan musyawarahkanlah diantara kamu dengan mereka segala sesuatu untuk termasuk soal imbalan tersebut dengan musyawarah yang baik sehingga hendaknya masing-masing mengalah dan mentoleransi; dan jika kamu saling menemui kesulitan dalam hal penyusuan itu, misalnya ayah enggan membayar dan ibu enggan menyusukan, maka perempuan lain pasti akan dan boleh menyusukan anak itu untuk ayahnya, baik melalui air susunya maupun susu buatan. Karena itu jangan memaksa ibunya untuk menyusukan sang anak, kecuali jika bayi itu enggan menyusu selain susu ibunya.
Pengganti nama ( ﻫﻦ ) hunna / mereka perempuan pada kalimat (ﺃﺴﻜﻨﻮﻫﻦ) askinuhunna/tempatkanlah mereka dipahami oleh mayoritas ulama menunjuk kepada semua wanita yang dicerai yang menjadi pembicaraan surah ini sejak ayatnya yang pertama. Dengan demikian, kata mereka mencakup semua yang dicerai baik yang masih boleh rujuk, yang hamil, maupun perceraian ba’in ( abadi ). Imam Ahmad Ibnu Hambal tidak memasukkan perceraian ba’in dalam cakupan kata mereka. Ini berdasar hadits yang menyatakan bahwa Fatimah binti Qais dicerai ba’in oleh suaminya. Lalu saudara suaminya melarangnya masuk rumah dan tidak membolehkannya menerima nafkah. Fatimah ra mengadu kepada rasul SAW; lalu beliau bersabda :“ Tempat tinggal dan nafkah hanya buat yang dicerai raj’y” ( yang masih boleh rujuk ).
Riwayat ini ditolak oleh banyak ulama, bahkan menurut riwayat, Sayyidinah Umar ra. Pun menolaknya. “Kita tidak meninggalkan kitabullah dan sunnah nabi kita, untuk menerima ucapan seorang wanita, yang boleh jadi lupa atau salah paham.” Demikian Sayyidinah Umar riwayat lain menyatakan bahwa Aisyah ra juga menolak riwayat itu.
Kata ( ﺘﻀﺎﺮﻮﻫﻦ) tudharruhunna terambil dari kata (ﻀﺎﺮﺓ) dharrah yakni kesulitan atau kesusahan yang berat. Ini bukan berarti kesulitan dan kesusahan yang sedikit atau ringan, dapat ditoleransi. Tidak ! Penggunaan kata tersebut disini agaknya untuk menginsyaratkan bahwa wanita yang dicerai itu telah mengalami kesulitan dengan perceraian itu, sehingga bekas suami hendaknya tidak lagi menambah kesulitan dan kesusahan karena itu berarti menyusahkannya dengan kesusahan yang berat. Bisa juga redaksi yang menggambarkan berat kesusahan itu tertuju kepada larangan bukan kepada apa yang dilarang sehingga itu berarti : “ Janganlah sekali-kali menyusahkan wanita yang dicerai itu. “
Firman-Nya: (ﻠﺘﻀﻳﻗﻮﺍﻋﻠﻳﻬﻦ) litudhayyiqu’alaihinna atau untuk menyempitkan mereka bukan berarti bahwa kalau bukan untuk itu, maka menyusahkannya dapat dibenarkan. Ini hanyalah isyarat menyangkut apa yang sering kali terjadi pada masa jahiliyah. Begitu tulisan Ibnu Asyur. Tetapi Al-biqaih memahaminya sebagai isyarat bolehnya menjadikan mereka merasa sulit atau kesal jika tujuannya untuk mendidik mereka.
Kata (ﻮﺃﺘﻤﺮﻮﺍ) wa’tamiru adalah perintah bagi ayah dan ibu untu memusyawarahkan persoalan anak mereka itu. Ini adalah salah satu dari dua ayat yang memerintahkan bermusyawarah dan dari empat ayat yang berbicara tentang musyawarah. Kalau yang telah bercerai saja diperintahkan untuk melakukan musyawarah, maka tentu saja hal tersebut lebih dianjurkan kepada suami istri yang sedang menjalin hubungan kemesraan, dan tentu saja buat mereka bukan hanya dal;am penyusuan anak, tetapi menyangkut segala hal yang berkaitan dengan rumah tangga bahkan kehidupan bersama mereka.
Firman-Nya: (ﻔﺴﺘﺮﻀﻊﻠﻪﺃﺧﺮﻯ) fasaturdhi’u lahu ukhra atau maka perempuan lain akan menyusukan anaknya memberi kesan kecaman kepada ibu, karena dorongan keibuan mestinya mengalahkan segala kesulitan. Disisi lain, pengalihan gaya redaksi dari persona kedua atau kamu ke gaya persona ketiga mengesankan juga kecaman kepada bapak yang boleh jadi keengganannya membayar itu karena tidak menyadari betapa banyak kebutuhan ibu yang menyusukan anak, misalnya makanan yang bergizi, serta betapa berat pula tugas itu dilaksanakan oleh ibu. Umpamanya pihak laki-laki merasa keberatan anaknya disusukan oleh ibu anak itu karena ibunya menderita penyakit menular atau meminta upah yang tinggi atau ibu anak itu tidak suka menyusukan anaknya, maka anak itu boleh disusukan oleh perempuan lain, sedang biayanya ditanggung oleh pihak laki-laki. Akan tetapi andaikata tidak ada perempuan lain yang akan menyusukan anak itu, wajiblah ibu itu menyusukan anaknya. Begitu juga andaikata laki-laki itu tidak mampu membelanjai penyusuan itu, wajib juga bagi ibu menyusukan anaknya.

Pemberian nafkah Kepada Anak
Allah Ta’ala berfirman,
Al-Baqarah ayat 233
ﻮﻋﻠﻰﺍﻠﻤﻮﻠﻮﺪﻠﻪﺮﺰﻗﻬﻦﻮﻜﺴﻮﺘﻬﻦﺒﺎﻠﻤﻌﺮﻮﻒ ۝
“dan kewajiban ayah memberi makanan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.”
Pemberian nafkah itu diwajibkan karena adanya anak yang lahir karena hubungan mereka.
Lebih lanjut, dalam ayat yang sama, Allah Azza wa Jalla juga berfirman,
Al-Baqarah ayat 233
ﻮﺍﻦﺍﺮﺪﺘﻢﺍﻦﺘﺴﺘﺮﻀﻌﻮﺍﺍﻮﻻﺪﻜﻢﻔﻼﺠﻧﺎﺡﻋﻠﻴﻜﻢﺍﺫﺍﺴﻠﻤﺘﻢﻤﺎﺍﺘﻴﺘﻢﺒﺎﻠﻤﻌﺮﻮﻒ ....
“Dan jika kalian ingin anak-anak kalian disusui dengan orang lain, maka tidak ada dosa bagi kalian apabila kalian ingin memberikan pembayaran menurut yang patut.”
Dari Aisyah Radhiyallahu Anha, bahwa Hindun pernah menuturkan kepada Rasulullah,
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah orang yang sangat kikir. Ia memberikan kepadaku nafkah yang tidak mencukupi diriku dan anak-anakku, kecuali aku mengambil sebagian hartanya tanpa sepengetahuannya.”
Lalu beliau bersabda,”ambillah hartanya sehingga dapat mencukupi dirimu dan anakmu dengan cara yang baik.” (Muttafaqun Alaih).
Dalam hadits tersebut terdapat dalil yang menunjukkan dibolehkannya mendengar pembicaraan salah satu pihak dari dua orang yang berselisih.
Selain itu, hadits tersebut juga menunjukkan adanya keharusan suami memberi nafkah kepada isteri yang diukur dengan kata “secukupnya”.
Demikian menurut pendapat mayoritas ulama dan juga syafi’i.
Hadits tersebut juga mengisyaratkan bahwa seorang wanita juga mempunyai andil dalam mengurus, memelihara dan memberi nafkah kepada anak –anaknya.
Dari Aisyah Radhiyallahu Anha, Rasulullah Shallallahu Alaihi wasallam besabda,
ﺍﻦ ﺍﻄﻳﺐ ﻤﺎﺃﻜﻞ ﺍﻠﺮﺠﻞ ﻤﻦ ﻜﺴﺑﻪ ﻮﺍﻦ ﻮﻠﺪ ﺍﻠﺮﺠﻞ ﻤﻦ ﻜﺴﺑﻪ ﴿ﺮﻮﺍﻩﺍﻠﻨﺴﺎﻰﻮﺇﺴﻨﺎﺪﻩﺼﺤﻴﺢ﴾
“ sesungguhnya sebaik-baik makanan yang dimakan seseorang adalah dari hasil usahanya, dan sesungguhnya anaknya itu termasuk dari hasil usahanya.” (Hadits ini ber-isnad shahih).
Iman al-Baghawi menyebutkan, “seorang laki-laki bekewajiban memberi nafkah kepada isteri dan anak-anaknya.” Hal itu didasarkan pada sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wasallam kepada hindun, “Ambillah hartanya sehingga dapat mencukupi dirimu dan anakmu dengan cara yang baik.”
Selain itu, Hadits tersebut juga memuat dalil yang menunjukkan kewajiban seorang bapak memberikan nafkah kepada anak-anaknya.
Siapakah yang lebih berhak memelihara anak?
Jika pasangan suami istri bercerai yang dari hubungan mereka menghasilkan anak yang masih kecil, maka isterilah yang paling berhak memlihara dan merawat anak itu sehingga anak tersebut dewasa karna ibulah yang biasanya lebih telaten dan sabar.
Selama waktu itu hendaklah si anak tinggal bersama ibunya selama ibuya belu menikah dengan laki-laki lain. Meskipun anak itu tningal bersama ibunya tetapi nafkahnya menjadi kewajiban ayahnya. Hal itu didasarkan pada hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Amr Radiyallahu Anhu, di mana ada seorang wanita yang mengadukan permasalahnnya kepada rasulullah saw, ”wahai rasulullah, sesengguhnya ini adalah anakku, perutkulah yang telah mengandungnya, buaiankulah yang telah melindunginya dan air susukulah telah menjadi minumannya. Tetapi saat ini bapaknya memisahkannya dariku.” Maka beliau bersabda,
ﺍﻨﺖ ﺃﺣﻖ ﺒﻪ ﻤﺍﻠﻢ ﺘﻨﻛﺣﻰ ﴿ﺮﻮﺍﻩﺃﺤﻤﺪﻮﺃﺒﻮﺪﺍﻮﺪﻮﺇﺴﻧﺎﺪﻩﺤﺴﻦ﴾
“kamulah yang lebih berhak atas anak itu, selagi kamu belum menikah dengan laki-laki lain. (HR. ahmad, Abu daud, baihaqi, dan hakim)
Jika si anak tersebut sudah dewasa dan mampu untuk menjaga dirinya sendiri, maka perlu adanya pihak yang berwajib untuk melakukan penyelidikan, siapakah diantara keduanya yang lebih berhak dan lebih pandai untuk memelihara anak tersebut . pada saat itu si anak diserahkan kepada pihak yang lebih cakap untuk merawat dan memeliharanya. Tetapi kalau keduanya sama, maka anak itu harus disuruh memilih siapa diantaranya yang lebih ia sukai.
Dalam kitab Syarh as-Sunnah disebutkan, “jika seorang suami menceraikan istrinya, sedangkan di antara mereka terdapat anak yang masih di bawah tujuh tahun, maka ibunya lebih berhak memeliharanya jika ia menghendaki dan bapanya tetap wajib member ikan nafkah kepaadanya. Dan jika ia (istrinya tidak berkeinginan untuk memelihara anaknya, maka bapaknya berkewajiban untuk membayar wanita lain sebagai pengasuhnya. Dan jika istrinya itu seorang yang tidak dapat dipercaya atau kafir, sedang bapaknya muslim, maka tidak ada hak bagi istrinya untuk memelihara anaknya.”
Para penganut madzhab Hanafi mengemukakan, “seorang ibu lebih berhak mengasuh anaknya meskipun dia seorang dzimmi. Dan jika ibu anak itu seorang muslimah merdeka dan dapat di percaya, maka dialah yang lebih berhak mengasuhnya selama ia belum menikah lagi dengan laki-laki lain. Dan jika menikah lagi, maka hak mengasuh itu gugur karenanya kecuali jika ia menikah dengan paman anak tersebut. Maka menurut sebagian ulama, hak mengasuh anak itu tidak gugur baginya. Dan jika ia di ceraikan lagi oleh suaminya yang ke dua maka hak itu kembali lagi kepadanya, baik talak itu ba’in maupun raj’i. Abu Hanifah menyebutkan “jika talak raj’I, maka hak itu tidak kembali kepadanya.”
Abu Hanifah mengatakan, “seorang ibu lebih berhak atas seorang anak laki-laki sampai ia mampu makan dan berpakaian sendiri. Sedangkan bagi anak perempuan adalah sampai ia menjalani haid yang pertama. Dan setelah itu, maka bapaknya lebih berhak daripada ibunya.”
Malik berkata, “hak mengasuh itu tidak akan kembali kepada suami untuk selamanya jika ibunya meninggal dunia, atau seorang budak, atau wanita kafir, atau menikah lagi, maka hak mengasuh itu gugur darinya. Dan jika tidak ada wanita dari pihak istri dalam garis lurus ke atas, maka yang lebih berhak mengasuhnya adalah bapaknya (bapak si istri). Dan yang menduduki urutan setelah bapaknya itu adalah wanita yang berada dalam satu garis lurus keatas dengan bapaknya tersebut.”
Dalil yang menjadi dasar pendapat yang menyatakan bahwa ibu itu lebih berhak daripada bapak dalam mengasuh anak adalah apa yang diriwayatkan dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya , dari kakenya, Abdullah bin Amr, bahwa ada seorang wanita yang mengadukan permasalahanya kepada Rasulullah saw, “wahai Rasulullah, sesungguhnya ini adalah anakku, perutkulah yang telah mengandungnya, buaiankulah yang telah melindunginya dan air susuku pula yang menjadi minumannya. Tetapi saat ini bapaknya memisahkan ia dariku.”
Maka beliau berkata. “Kamulah yang lebih berhak atas anak itu, selagi kamu belum menikah dengan laki-laki lain.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Baihaqi dan Hakim. Dan sanad ini hasan).
Dan dalil yang menunjukkan bahwa nenek dari pihak istri lebih berhak daripada bapaknya adalah apa yang diriwayatkan dari Malik, dari Yahya bin Sa’id, ia bercerita, aku pernah mendengar Qasim bin Muhammad berkata, “Bersama Umar bin Khaththab pernah ada seorang wanita dari kaum Anshar. Lalu wanita itu melahirkan anak bernama Ashim bin Umar. Setelah itu ia menceraikannya. Kemudian pada suatu hari Umar menaiki kenderaan berangkat menuju Kuba’, lalu ia mendapatkan anaknya sedang bermain-main di halaman masjid. Selanjutnya ia mengangkat dan meletakkannya di depannya di atas binatang kendaraannya. Kemudian hal itu di ketahui oleh nenek anak itu, maka neneknya itu merebut anak tersebut darinya. Setelah itu, mereka berdua menghadap Abu Bakar ash-shiddiq, maka Umar berkata, “Anakku.” Sedangkan wanita itu berkata, “Anakku.” Maka Abu Bakar berkata, “Biarkanlah ia bersama neneknya.” (al-Muwaththa’ Malik).
Jika para wanita dari kaum kerabatnya berkumpul, maka yang lebih berhak mengasuh anak itu adalah ibu, lalu ibunya ibu (nenek dari pihak ibu), kemudian ibunya bapak ( nenek dari pihak bapak ) dan terus ke atas. Kemudian ibunya nenek, lalu saudara perempuan sekandung, lalu saudara perempuan sebapak, kemudian saudara perempuan seibu, setelah itu bibi dari pihak ibu, selanjutnya bibi dari pihak bapak. Demikianlah urutan yang seharusnya. Demikian itu jika anak tersebut di bawah umur tujuh tahun. Jika ia sudah berumur tujuh tahun dan sudah mengerti serta dapat berpikir, maka ia diberikan pilihan untuk menentukan apakah ikut bapak atau ibunya, baik anak itu laki-laki atau perempuan. Siapa dari keduanya yang dipilihnya, maka dialah yang berhak mengasuhnya. Demikianlah yang menjadi pendapat mayoritas sahabat Nabi. Hal itu pula yang menjadi pendapat Syafi’i, Ahamad dan Ishak.
Tsauri dan para penganut madzhab Hanafi berpendapat bahwa ibu lebih berhak mengasuh anaknya sehingga ia dapat makan dan memakai baju sendiri, sedangkan bila anaknya perempuan adalah sehingga ia menjalani haid pertama kali. Dan setelah itu, baru bapak yang lebih berhak.
Sebagaimana hak mengasuh pertama diberikan kepada ibu, maka para ahli fiqih menyimpulkan bahwa keluarga ibu dari seorang anak lebih berhak daripada keluarga bapaknya.
Malik berkata, “ Seorang ibu lebih berhak memelihara anak perempuan meski pun sudah haid selama ia belum menikah. Dan dia ( ibu ) juga lebih berhak mengasuh anak laki-laki selama ia belum pernah akil baliq. Jika anak itu sudah mencapai umur tujuh tahun atau lebih, tetapi belum berakal atau tidak waras, maka ibu lebih berhak daripada bapaknya.” Jika anak yang sudah berakal dan memilih salah satu dari kedua orang tuanya, tetapi suatau ketika ia ingin kembali kepada yang lainnya, maka ia harus dikembalikan kepada yang lainnya tersebut. Diberikannya pilihan kepada anak untuk menentukan hak pengasuhnya, kepada bapak atau ibunya, jika kedua-duanya merdeka dan muslim serta dapat dipercaya. Dan jika salah seorang dari keduanya kafir, atau budak, atau fasik, maka pihak yang muslim dan merdeka adalah yang lebih berhak mengasuhnya. Tetapi jika ibunya telah menikah, maka tidak perlu lagi diberikan pilihan dan anak diserahkan kepada bapaknya. Sebagaimana si anak diberikan pilihan untuk memilih ibu dan bapaknya, maka ia diberi kebebasan juga untuk memilih antara ibu dan kakeknya atau ibu dan pamannya. Jika hak pengasuhan itu telah ditetapkan pada ibunya atau telah diberikan kepada anak itu hak memilih, lalu bapak anak itu bermaksud melakukan perjalanan, maka ia tidak bisa mengambil atau melepas anak itu dari ibunya. Dan jika bapaknya ingin pindah ke daerah lain yang jaraknya tidak terlalu jauh, maka ia boleh mengambil anak itu dari ibunya lalu membawa bersamanya.
Meskipun anak itu dalam pengasuhan ibu, maka ia tidak berhak melarang bapaknya untuk mengunjunginya dan membawanya ke kantor atau tempat lainnya dan setelah itu dikembalikan lagi kepada ibunya. Dan jika anak itu berada di bawah pengasuhan bapak, maka ia tidak boleh menghalangi anaknya itu untuk mengunjungi ibunya atau menghalangi ibunya mengunjungi anaknya tersebut. Dan jika anak itu seorang budak, maka ia tidak boleh menghalangi ibunya untuk mengunjunginya, tetapi ia mempunyai hak melarang anak itu untuk mengunjungi ibunya kecuali jika ibunya jatuh sakit, maka ia boleh menjenguknya.
Dan jika ibunya sudah menikah lagi, maka tidak ada lagi hak pilih bagi anak itu, karena ia harus ikut bapaknya.
Adapun menjual seorang budak dan memisahkannya dari ibunya, maka tidak diperbolehkan sama sekali, demikian menurut sebagian ulama. Hal itu pula yang dikemukakan oleh Syafi’I dengan bersandarkan pada riwayat dari Abu Ayyub, ia bercerita, aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wasallam bersabda,
“ Barangsiapa yang memisahkan antara orang tua dan anaknya, maka Allah akan memisahkan dirinya dari orang yang dicintainya pada hari kiamat kelak. “ ( HR. Ahmad dan Tirmidzi yang meng-hasan-kan hadis tersebut ).
Jika ada anak yang ditawan bersama salah satu orang tuanya, maka hendaklah imam berusaha untuk tidak memisahkan antara keduanya kecuali antara anak yang masih kecil dengan kedua orang tuanya. Kemudian para ulama berbeda pendapat mengenai batas usia dewasa yang membolehkan pemisahan antara keduanya. Syafi’I berpendapat, jika anak itu sudah berumur tujuh atau delapan tahun. Sedangkan al-Auza’I menyebutkan, sehingga anak itu tidak lagi membutuhkan bantuan ibunya. Adapun Malik mengungkapkan, “ Ia boleh dipisahkan dari orang tuanya jika gigi susunya sudah tanggal.” Sedangkan Ashaburra’yi berpendapat, yaitu sehingga ia baliq. Dan Ahmad berkata, “ Tidak boleh memisahkan antara keduanya meskipun anak itu sudah besar dan sudah baliq.







BAB III
PENUTUP

HIKMAH DARI KANDUNGAN AYAT
• Suami istri wajib memenuhi kewajiban mereka untuk memelihara keturunan mereka (anak mereka)
• Jika terjadi perceraian, suami istri tetap berkewajiban untuk memberikan nafkah dan kasih sayang kepada anak mereka.
• Ibu lebih diberi hak untuk mengasuh anak jika terjadi perceraian karena ibu dianggap lebih bisa member perhatian dan kasih sayang yang dibutuhkan anak karena adanya sifat kelembutan yang senantiasa ada pada ibu.
• Anak wajib dipelihara sebaik-baiknya meskipun terjadi perceraian agar anak dapat terdidik dengan baik sehingga dapat memiliki akhlak yang baik sehingga nantinya dapat menjadi generasi penerus yang dapat diharapkan.

IMPLIKASI DALAM KEHIDUPAN
• Jika terjadi perceraian, ayah dan ibu sang anak hendaknya tetap memberikan perhatian berupa nafkah dan kasih saying kepada anaknya karena itu adalah tanggung jawab mereka.
• Hak asuh anak diserahkan kepada sang ibu karena anak terutama yang masih berusia dini lebih banyak membutuhkan kasih saying terutama dari ibunya.



DAFTAR PUSTAKA

M. Quraish sshihab. 2002. Tafsir Al-Misbah. Volume XIV. Jakarta : Lentera Hati
Syekh H. Abdul Halim Hasan. 2006. Tafsir Al-Ahkam. Cetakan I. Jakarta : Kencana
Syeikh Hasan Ayyub. 2004. Fiqih keluarga. Cetakan IV. Jakarta : Pustaka Kautsar
Irfan Fachruddin. 2001. Pilihan Sabda rasul (Hadits-Hadits Pilihan). Cetakan II.
Jakarta : Bumi Aksara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar